Terima Kasih Sri Lanka #catatan Sri Lanka 5
Ini adalah tulisan kelima dari rangkaian
#catatan Sri Lanka. Kalau kalian ingin tahu lebih lengkap, silahkan scroll
postingan blog sebelumnya dan temukan catatan yang lain heuheu.
Inilah event
utama yang menyedotku hingga ke negeri penggila olah raga kriket ini. ICOAH
(International Conference on Arts and Humanities) adalah konferensi tahunan
yang diadakan guna menampung dan mendiskusikan perkembangan keilmuan dalam lingkup Art and Humanities. Website dari
konferensi ini adalah http://fineartsconference.com. Di tahun keduanya, konferensi internasional ini
diselenggarakan di Sri Lanka, tepatnya di Hotel Galadari-Colombo dan mengambil
tema utama “Transformation vs.
Adaptation”.
Bidang kajian yang cukup luas membuat konferensi
ini membagi beberapa kategori untuk paper yang masuk. Penelitianku sendiri masuk kedalam kategori cultural anthropology. Karena seperti yang sudah aku
tulisakan sebelumnya, interest utamaku
adalah bidang kebudayaan dan masyarakat. Jujur, sebenarnya dahulu aku tidak
begitu tertarik dengan kajian semacam ini. Aku tidak peduli dengan budaya etnis
atau orang-orang yang terlibat di dalamnya. Namun semua pelahan berubah saat
aku terlibat penelitian dengan dosenku.
Penelitian tersebutlah
awal dari persentuhanku dengan orang-orang yang dulunya aku negasikan
keberadaannya. Aku diharuskan berbincang dengan orang-orang ‘tua’, dengan
pemangku adat atau bahkan ‘Dukun’. Teruntuk yang terakhir ini, sebelumnya aku
termasuk orang yang alergi terhadap kata tersebut. Namun sekali lagi, dengan
berbincang langsung dengan mereka, menyerap pengetahuan mereka dan menangkap
cara pandang mereka, aku pribadi menemukan banyak sekali mutiara yang layak
untuk dirawat, dan diangkat ke permukaan. Dan layaknya bereksplorasi kedalam
hutan, semakin kita melakukan penetrasi kedalam, semakin banyak pula hal baru
yang membuat kita takjub dan merasa kecil. Itu pulalah yang pada akhirnya
berhasil membuka mataku dan menumbuhkan bibit cinta terhadap kebudayaan etnis.
![]() |
sadar kamera ya bu :v |
Ada banyak hal yang
aku tangkap dari dari konferensi ini. Satu hal yang paling melekat padaku adalah arti penting apresiasi. Saat itu
seingatku kebanyakan presenter dari konferensi ini adalah orang-orang dari non English speaking-country, sehingga
bahasa ibu mereka bukanlah bahasa Inggris. Satu hal yang membuatku terkesan
adalah bagaimana mereka benar-benar mengapresiasi satu sama lain, entah dari
segi bahasa maupun dari segi bobot materi presentasi.
Contoh dari hal diatas adalah saat dimana salah seorang presenter dari Turki mempresentasikan hasil penelitiannya
dengan terbata-bata. Bahasa Inggrisnya menurutku cukup terbatas. Bahkan tulisan
di power pointnya pun tidak sedikit yang
kurang tepat. Namun semua itu tertutup oleh semangatnya dalam menyampaikan materi.
Dan tetap saja, dengan matter,
manner, method yang mungkin bisa
dibilang kurang, apresiasi tetap mengucur deras kepada presenter ini.
Hal tersebut, apresiasi, adalah salah satu hal yang cukup jarang aku temui selama ini. Kita
nampaknya lebih ringan mengkritisi dari pada mengapresiasi, kita sibuk membenci
hingga kita lupa memuji, kita sensitif terhadap kesalahan minor sedang untuk
kebaikan kita mendadak mati rasa. Padahal apresiasi sesederhana apapun, ucapan terima kasih misalnya, akan
mampu membuat orang merasa dihargai sehingga bisa membuat mereka terdorong untuk dapat berbuat lebih
banyak dan lebih baik.
Hal lain yang perlu diacungi jempol dari konferensi ini adalah kebijakan dari komite
yang meminta para pemateri untuk berpakaian adat/khas negara asal peserta saat
menyampaikan makalah. Kami yang dari Indonesia, cukup mengenakan Batik untuk
menunjukkan identitas keindonesiaan kami, sedangkan peserta yang terdiri dari
berbagai latar belakang budaya dan kewarganegaraan mengenakan pakaian khas
mereka masing-masing. Semua bercampur menjadi satu tanpa perlu meleburkan
identitas asli, semua indah dan cantik dengan warnanya masing-masing.
fire dancer |
Konferensi ini berlangsung selama tiga hari. Dihari terakhir, panitia menyuguhkan semacam cultural show dan networking dinner di tempat terpisah sebagai bentuk farewell party. Lokasi gala dinner tersebut berada di sebelah Danau Beira. Dengan lampu-lampu perkotaan yang berkedip-kedip disana-sini yang terpantul dari air danau yang tenang, gala dinner tersebut memberikan kesan yang mendalam. Kami sama-sama menikmati makan malam dengan menu ala Sri Lanka yang cenderung bercitra rasa kuat sembari tentunya bertukar kontak untuk dapat saling berkomunikasi dan membangun jaringan.
gaboleh nyawer btw |
Selepas makan malam yang hangat, kami juga
disuguhi tarian-tarian tradisional Sri Lanka yang cukup eksotis. Mereka
menampilkan tarian dengan iringan gendang, serta atraksi api. Cukup indah dan membuatku
terkesan. Makan-makan tersebut diakhiri dengan sesi foto-foto dan ucapan
selamat kembali pulang dari masing-masing peserta.
Danau Beira |
***
Perjalanan ini membuatku
berpikir ulang tentang banyak hal. Mulai dari identitas, budaya, nilai
ketimuran, apresiasi, makna rumah, rindu dan segudang hal lainnya. Saat aku
berada disana, di Sri Lanka, entah bagaimana rasa rindu dan bangga terhadap bangsa semakin
membuncah. Selain itu saat keluar dari "rumah", aku baru bisa menilai
keadaan hunian yang selama ini aku tinggali dengan sudut pandang baru yang lebih
berwarna, yang pada akhirnya membawaku pada kesimpulan bahwa memang inilah rumah yang harus selalu kita perjuangkan bersama-sama.
"Ah, mungkin ada benarnya bahwa untuk merasa benar-benar dekat, kadang kita
harus pergi sejauh-jauhnya."
Sukak
ReplyDeleteMakasih nov
Delete