Baju Bangsa


Apabila macan hilang belangnya, gajah hilang gadingnya, zebra hilang coraknya, kemungkinan binatang tersebut akan hilang identitas dan kecantikannya. Lantas bagaimana dengan negeri ini, apabila budayanya hilang satu persatu, akankah dia masih menggenggam kecantikannya? Apakah dia masih memiliki pesonanya?

***
Beberapa hari belakangan ini perasaanku sangat sentimentil dan berkemelut, seolah mendung sedang berada tepat di atas kepalaku. Hal ini terjadi tepat sepulang observasi dini (preliminary research) tentang topik penelitian yang rencananya akan kubawa untuk melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian yang rencananya aku angkat ini sebenarnya masih sangat terkait dengan penelitianku sebelumnya, tentang budaya-ritual adat. Hanya saja kali ini aku bermaksud membandingkan ritual adat yang ada di kotaku, yang telah aku angkat sebelumnya, dengan ritual adat yang hampir serupa yang berada di Banyuwangi dan Pacitan. Sebenarnya bila merujuk referensi yang aku baca, ada satu lagi kota yang memiliki ritual serupa, yaitu Malang. Namun, untuk Malang aku belum sempat terjun langsung ke lapangan untuk validasi eksistensi ritual tersebut.

Satu hal yang memicu rasa sentimentil yang meluap ini adalah fakta yang aku temui di lapangan tentang ritual yang akan aku garap; ritual adat Temanten Kucing (Tulungagung), dan Mantu Kucing (Banyuwangi, Pacitan dan Malang). Ritual tersebut selain memiliki pola dan latar belakang sejarah yang hampir serupa, ternyata memiliki nasib yang hampir sama. Mereka berada di ujung tanduk. Antara hidup dan mati. Kembang-kempis ­seperti napas seorang yang kena penyakit menahun yang sangat parah.

Di Tulungagung misalnya, setelah sempat menjadi primadona dan mewakili Tulungagung diberbagai festival kebudayaan, pada tahun 2010, terjadi anti klimax yang menjadi titik balik dari ritual ini. Kesalahpahaman dalam menginterpretasi ritual yang berasal dari desa Pelem, Campur Darat tersebut berujung dengan dibawanya ritual adat yang menggunakan kucing sebagai medium utamanya itu ke meja perundingan, yang berakhir dengan lahirnya keputusan untuk menghentikan dana tahunan serta pelarangan penampilan ritual adat tersebut dalam ruang publik. Walhasil, ritual yang dimaksudkan untuk memohon hujan itu kembali ke ruang privat dan kabarnya semakin jarang orang yang tertarik mengadakannya.

Di Pacitan sendiri, berdasarkan informasi awal yang aku dapat dari dinas pendidikan dan kebudayaan setempat, Ritual Mantu Kucing juga sudah sekitar tiga tahun terakhir (kemungkinan lebih) tidak diadakan disana. Bahkan tidak hanya Mantu Kucing, tetapi tradisi budaya yang lain juga semakin memudar gemanya. Namun sedikit lebih baik, di Banyuwangi, menurut penuturan dari kepala desa setempat, ritual tersebut masih dijalankan tiap tahun sekali walaupun tanpa support materil dari pemerintah daerah. Aku harus akui memang bahwasanya observasi di dua lokasi tersebut (Banyuwangi dan Pacitan) masih sangat dangkal karena memang tujuanku masih sekedar memastikan keberadaan ritual tersebut, dan belum menggali lebih dalam tentang apa saja instrumen yang kemungkinan bisa dielaborasi disana.

Namun dari sedikit fakta di lapangan itu dan diperkuat dengan beberapa pengalaman sebelumnya, aku jadi berfikir bahwa sekarang ini, sedikit demi sedikit kebudayaan asli Indonesia sedang merangkak menuju senja. Kebudayaan tersebut, yang sejatinya adalah identitas pembeda antara negeri ini dan negeri lain, seolah kalah pamor dengan kebudayaan asing yang datang bertubi-tubi. Pemuda kita silau dengan budaya luar yang serba glamor, dan meninggalkan kebudayaan sendiri yang sebenarnya masih menyimpan banyak teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan.

Padahal, kebudayaan adalah baju, baju untuk sebuah bangsa. Dan disadari atau tidak, baju bangsa  kita ini amat sangat berwarna dan megah. Namun sayangnya, dengan baju yang sedemikian indah, kita tetap saja tidak percaya diri. Kita ingin melepasnya, dan merengek meminta baju orang lain yang nyatanya sangat kurang pas dengan “tubuh” kita ini. ahhh................
  
bersama salah satu folklore bearer temanten kucing


Comments

  1. Setuju sekali mas. Miris memang melihat nasib kebudayaan kita saat ini. Banyak budaya yang mulai terlupakan, tergeser oleh pola2 kehidupan yang serba glamour dan modern. Selamat berjuang mengembalikan baju bangsa ini! Nice post anyway.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Thank you mbak... Bukan hal yang mudah buat mengembalikan baju, terlebih ditengah arus yang tak menentu sekarang ini...tapi tidak ada yang mustahil juga sih hehe... Semoga kelak budaya asli bisa berjaya di negeri sendiri

      Delete

Post a Comment

Popular Posts