"Ketela"



                Mana yang lebih baik, keripik ketela, opak1, gatot2, thiwul3, klepon4, atau mie dari bahan tepung ketela? Pertannyaan super subjektif, yang pasti menghasilkan jawaban berbeda dari tiap orang. Pertanayaan selanjutnya adalah, mana yang paling nikmat? Sekali lagi sebuah pertanyaan yang sifatnya sama. Begitulah analogi sederhana yang dipakai Cak Nun untuk menggambarkan keanekaragaman golongan/ kelompok/ faham Islam saat ini. 


                Islam itu layaknya ketela, bahan baku utama dari semua jenis makanan diatas. Ketela tersebut kemudian diproses sesuai “lidah” penikmatnya. Ketika ketela ini masuk di Jawa misal, karena “lidah” orang Jawa cenderung suka yang manis-manis, ketela tersebut akan di “diolah” menjadi makanan yang manis, sebutlah Klepon. 

                Bila di daerah yang kurang pangan, ketela tersebut akan “diolah” menjadi thiwul sebagai pengganti makanan utama. Berbeda lagi semisal ketela ini masuk ke China. Negeri yang doyan mengkonsumsi mie tersebut pasti mengolah ketela itu menjadi tepung dan memprosesnya menjadi mie. Intinya beda tempat “olahan” dari “ketela” tersebut juga pasti akan berbeda. Tergantung dengan “lidah” masyarakat setempat. Namun yang patut di ingat, inti dari makan tersebut tetaplah ketela.

                “Ketela” dalam hal ini merepresentasikan Islam, “Lidah” merepresentasikan budaya serta pemahaman, sedangkan “olahan” merepresentasikan penyesuaian serta output. Inilah yang membuat Islam berbeda satu sama lain. Berbeda memang karena tingkat pemahaman serta budaya yang ada disekitar. Islam terkadang berbaur harmonis dengan budaya, ini wajar, karena islampun mengambil dan mempertahankan budaya Arab yang dianggap baik dan meninggalkan budaya yang buruk. 

                Bila kia melihat sejarah, apa yang dilakukan Sunan Kali Jogo dulu kala adalah sebuah upaya penyatuan nilai budaya (Jawa) dan Islam. Budaya asli tetap dihormati, namun apa yang tidak sesuai dengan ajaran Islam disesuaikan dengan nilai-nilai Islami. Sekali lagi disesuaikan. Inilah yang membuat Islam disambut hangat oleh rakyat Jawa kala itu. inilah yang disebut konsep Meng-Indonesia-kan Islam, bukan meng-Islam-kan Indonesia. 


                Kebudayaan serta pemahaman yang berbeda merupakan alasan utama mengapa Islam berbeda-beda. Namun apakah itu alasan yang yang tepat untuk saling curiga? Saling menghujat? Saling mengusir atau saling mambakar? Apakah etis kita berkata bahwa klepon lah produk paling nikmat dan paling otentik diantara produk-produk ketela lainnya? Apakah hanya karena itu kita lantas membakar produk selain klepon? Apakah keripik, atau thiwul tidak termasuk olahan Ketela? Nikmati saja apa yang kita yakini nikmat, tanpa mengecam pilihan orang lain. 

                Janganlah sampai mengalirkan darah saudara kita hanya karena perbedaan pandangan. Jangan pula mengecam budaya yang ada. Semua itu sebenarnya rahmat dariNya. Bukankah damai itu indah?
****
1 Kerupuk yang terbuat dari ketela yang diiris tipis, dijemur, kemudian digoreng.
2 Makanan yang terbuat dari ketela yang di iris tipis-tipis lalu direbus dan ditaburi parutan kelapa diatasnya.
3 Makanan pengganti beras (saat penjajahan) yang dibuat dari ketela kering yang diproses sedemikian rupa.
4 Jajanan yang terbuat dari ketela yang diisi gula merah di dalamnya.

Comments

Popular Posts