Syukur



Kuperhatikan supir angkot ini dari belakang, kulitnya legam, dengan tulang rahang yang tercetak kuat di wajahnya seolah menandakan kerasnya kehidupan jalannan yang harus dilaulinya untuk menyambung hidupnya dan keluargannya. bajunya yang kumal dengan selembar handuk untuk mengusap keringat melingkari setengah lehernya, ditambah topi bundar khas safari menjadikannya sebuah perpaduan tepat dengan keringnya udara kota ini. Miris aku membayangkan, bagaimana dia bisa bertahan dengan pekerjaan ini selama bertahun-tahun, memanggang tubuh dan kulitnya di bawah terik surya kota yang kejam, beradu tenaga diatas aspal hitam yang panas, dengan tuntutan setoran yang semakin mencekik, Tuhan. Diam diam dalam hati aku bersyukur dilahirkan dari keluarga kampung nun jauh disana dengan kedamaiannya, dengan pekerjaan yang aku lakoni sekarang yang tidak seberat bapak sopir ini. Aku bersukur, sebagaimana juga “mungkin” bapak ini bersyukur atas kehidupannya sekarang ketika melihat orang yang tidak seberuntung dirinya, dan memang sudah seharusnya seperti itu.

Comments

Popular Posts