Manisnya Pulau Garam
Kali ini, salah satu kepanitiaan yang aku ikuti
mambawaku menyeberang ke pulau tetangga. Sebuah pulau yang secara administratif
masih merupakan bagian dari provinsi Jawa Timur, namun sering kali dianggap
berbeda. Yap, itulah Pulau Madura. Jujur, sebelum pergi kesana, aku sering
membayangkan dan menilai bahwa pulau yang terkenal dengan budaya Karapan
Sapinya itu identik dengan sesuatu yang negatif. selama ini bila ditanya
tentang madura, “Carok” lah yang langsung terngiang di kepala. Satu kata ini
berhasil menutupi keobjektifitasanku. Keindahan, keramah-tamahan atau hal elok
lainnya tentang pulau Garam ini seakan tertutup kengerian satu kata tersebut.
madura
Kami berangkat bertiga kesana, aku, Viki (tanpa
Shu), dan Lintang. Lintang inilah yang menyediakan tempat tinggal serta makan
untuk kami selama disana. Agenda kami kali ini adalah untuk promosi lomba ESC
(kepanitiaan yang kami ikuti) ke sekolah-sekolah yang ada di Madura, serta talk show dengan salah satu radio di
sana. Walaupun sebenarnya ini bukan job
desc ku, (saat itu aku sebagai bendahara-sponsor), namun sebagai sesama
panitia, kami harus saling membantu dan melengkapi (sebenarnya alasan utama sih
karena pingin jalan-jalan aja ha ha ah) , so
akhirnya salah satu tugas PR (Public Relation) ini, kami tangani bersama sama.
ini dia wajah si Lintang
Setelah salah menumpang bus (bukan salah jurusannya,
namun biayanya _Salah ambil Bus Patas_ -..-‘’) dan tiba di Surabaya, kami
melanjutkan perjalanan dengan bus yang baru (alhamdulillah gak salah lagi kali
ini_kocek aman_ hahah). Kami melewati jembatan Suramadu, salah satu mega proyek
yang menelan biaya trilyunan rupiah. Ini kali pertama aku melintasi jembatan
penghubung pulau ini. aku cukup terkesima dengan model bangunan serta
lampu-lampu penghiasnya. Cukup megah, pikirku.
Suramadu di malam hari
Kami tiba di Madura sekitar pukul 22.00. tak
banyak yang bisa dinikmati dari perjalanan malam di pulau ini, karena selain
gelap yang pekat, pembangunanpun terasa sangat minim disini. Sama sekali
berbeda dengan Surabaya di seberang sana yang hanya terpisah oleh Suramadu.
“Ironis”, pikirku saat itu. Jembatan yang seharusnya mampu menjembatani jurang
ekonomi tersebut tak mampu berbuat banyak. Di sisi jembatan sana, di Surabaya,
berjajar mal-mal, apartement, gedung perkantoran tinggi yang menjulang serta
ingar-bigar khas perkotaan. Namun di sisi lain, yang hanya berjarak beberapa
Kilometer saja, keadaanya sungguh berbeda. Kami seakan masuk ke dunia baru yang
masih terpencil. Hanya ada tanah lapang, warung kecil tak beraturan, kesenyapan
serta kegelapan. Jembatan itu seakan sebuah tabir pembatas kedua sisi.
Membiarkan perbedaan tetap ada dan menganga diantaranya. Sungguh ironis.
Setelah beberapa saat menunggu di terminal
Pamekasan, kami dijemput salah satu anggota keluarga Lintang. Kami disuguhi
pemandangan malam kota Pamekasan yang rapi dan tenang. Sesampainya di rumah dan
sedikit berbasa-basi, mungkin karena rasa lelah yang mendera, kami langsung terlelap.
alun-alun Pamekasan
Kami tinggal di rumah bude dari lintang. beliau
adalah guru disana, dengan seorang anak yang masih kuliah di Malang dan seorang
lagi bekerja di perusahaan di Madura. Keluarga tersebut sangat ramah, kamar
yang cukup besar yang seharusnya mereka pakai, mereka relakan untuk kami
tiduri. Selama disana, kami juga diberikan makanan yang menggoda selera. Mulai
dari Pecel, Soto Madura, hingga Sate Lalat yang nikmat!
Eitz, tenang dulu, Sate Lalat ini bukannya lalat yang ditangkap, ditusuk-tusuk
terus di bakar loh. Tapi ini adalah Sate Ayam biasa, dengan ukuran daging yang
super kecil dan ditusuk dengan lidi. Jangan tanya rasa deh, benar-benar Sejati
~Sekali Jajal Nancep di Hati~ apalagi itu semua dinikmati secara gratis ha ha.
sate lalat, kuliner khas Madura
Kami berkeliling ke beberapa sekolah yang ada di
Kota Pamekasan keesokan harinya. Beberapa sekolah yang kami tuju ini sebelumnya
telah menerima undangan dari kami. Proses perijinan (birokrasi) di sekolah ini
pantas diacungi jempol; tidak belibet-libet
seperti yang kami temui di tempat lain. Kami cukup bertemu dengan guru Bahasa
Inggris, serta Kesiswaan untuk ijin promosi lomba, dan seketika itupula kami
diijinkan masuk ke kelas-kelas untuk berinteraksi langsung dengan siswa disana.
Berbekal almamater, serta laptop yang berisi video ESC, kami mensosialisasikan
ESC di beberapa sekolah-sekolah disana.
Semua berjalan lancar. Antusisme siswa membuat
kami bersemangat. Saat itu sedang ada Karnaval di Pamekasan, semua orang tumpleg bleg dikota. Kendaraan di hias,
siswa-siswi di permak, marching band
beradu suara. Inilah sisi lain kota
Pamekasan, sebuah kota kecil dengan budaya dan nasionalisme yang cukup kental.
Agenda selanjutnya adalah talk show di sebuah radio di Sumenep. Kota ini adalah Jogja.nya
Madura sebab keraton kasultanan ada disini. Sepanjang perjalanan, kami disuguhi
pemandangan tambak garam dan pantai, sangat luas dan indah. aku sempat
berfikir, dengan tambak garam seluas ini (dan ditambah tambak di tempat lain),
mengapa negeri ini masih saja mengimpor garam dari luar? Ah entahlah. Sumenep
ini cukup tenang, tata kota yang cukup baik memberikan kesan nyaman ketika aku
disana.
tambak garam (foto diambil dari mobil)
Singkat cerita, kami tiba di radio tempat kami ber
talk show. Kami disambut ramah salah
satu officer disana dan langsung dikenalkan dengan Mas Wawan, announcer yang akan berdialog dengan
kami. Mas Wawan ini sosok yang cukup ramah dan suka tertawa, badannya padat
berisi dan terlihat segar. Hal ini membuat kami tenang dan santai ketika on air. Walhasil, sesi dialogpun
berlangsung tanpa kendala.
berfoto setelah sesi talk show
Setelah acara radio berakhir, kami langsung tancap
gas kembali ke Pamekasan. Sesampainya di rumah, kami sempatkan diri untuk
berbaring sejenak. Jarak antara Pamekasan dan Sumenep yang cukup jauh
menyisakan rasa lelah di badan yang hanya dapat diusir dengan bantal.
Setelah mandi dan berkemas, sekitar pukul 17.00,
kami akhirnya harus meninggalkan rumah itu. Kami sempatkan berfoto dulu dengan
keluarga disana, sebagai pengingat bahwa di Pulau Garam ini, ada sebuah
keluarga yang cukup baik yang mau kami repotkan selama dua hari.
bersama "keluarga" baru di Madura
***
Banyak sekali manusia berbeda yang silih berganti
datang di kehidupan kita. terkadang hanya sesaat dan seperti angin lalu;
menghilang tak berbekas. Namun terkadang, ada juga yang benar-benar menancap
erat dan tak terlupakan. Bahkan mungkin orang-orang ini akan menjadi kisah
indah yang akan diceritakan ke generasi selanjutnya.
Dengan kebaikan dan ketulusannya, keluarga ini
benar-benar telah menjadi salah satu kisah yang tak akan aku lupakan.
Keramah-tamahan keluarga dan sekolah yang ada disana, ketenangan, serta
keindahan Pulau Madura, telah merubah presepsiku terhadap tempat ini. Pulau
Garam ini begitu cantik, begitu hangat dan bersahabat. Pulau Garam ini begitu
manis.
Comments
Post a Comment