Kemenyan
“Anjiiiirrrr,
aroma kemenyan!” umpat saya dalam hati, sembari mempercepat langkah.
Aroma yang tiba-tiba terhirup hidung saya tersebut
membuat bulu kuduk saya berdiri. Dengan mulut yang terkunci rapat, serta
jantung yang berdetak tak karuan, saya tergopoh meninggalkan lokasi yang baru
saja saya lewati tersebut. Ya, Gunung Arjuna adalah salah satu gunung paling
mistis yang pernah saya daki.
_______
Saya yakin bahwa siapapun yang berada pada posisi saya
saat itu akan merasakan hal serupa; Ngeri dan kepingin lari. Lantas,
pertanyaannya adalah “mengapa?”. Tentu saja karena asosiasi yang tercipta
disana. Gabungan antara aroma kemenyan, image
Gunung Arjuna, serta informasi yang tertanam dalam kepala, membuat otak
saya mengirim sinyal-sinyal yang memaksa jantung saya berdegup lebih cepat.
Kemenyan dalam hal ini terasosiasikan dengan misteri, roh-roh halus, upacara
tua, situs angker, atau ritual-ritual seram lainnya.
Hal ini tidak terjadi begitu saja tentunya. Ada proses
budaya yang mempengaruhinya. Informasi yang kita dapatkan, entah dari media
masa atau cerita orang, mempengaruhi cara pandang kita terhadap sesuatu.
Kemenyan salah satu korbannya. Film-film horor Indonesia sangat rajin
mengkonstruksi suasan seram dengan kemenyan. Hal ini pada akhirnya membuat
saya, dan mungkin juga hampir kebanyakan orang menganggap bahwa kemenyan adalah
sesuatu yang lekat dengan misteri. Hal inilah yang membuat antusiasme kita dalam
mengeksplorasi kemenyan terhenti. Padahal, produk yang berasal dari getah pohon Styrax benzoin ini memiliki beragam manfaat dan merupakan salah satu
komoditas perdanganan yang cukup tua.
Kemenyan adalah aroma wewangian berbentuk
kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum. Sejak ratusan tahun yang lalu, kemenyan
telah menjadi komoditas perdagangan global melalui jalur sutra. Kemenyan
menjadi salah satu komoditas primadona yang harganya setara atau bahkan lebih
mahal dari emas. Para pedagang memburu kemenyan karena permintaan yang tinggi.
Para raja, bangsawan, dan pemuka agama menggunakan kemenyan untuk berbagai
keperluan, seperti pengharum ruangan, obat, campuran kosmetik, hingga keperluan
spiritual.
Sebuah catatan dari dinasti Sung (AD
960-1279) menyebutkan bahwa kemenyan, yang berasal dari Sumatra dan Kamboja, telah
diperdagangkan lebih dari 1000 tahun di Asia Tenggara. Catatan lain bahkan
menyebutkan bahwa perdagangan Kemenyan sudah berlangsung jauh sebelum itu.
Sumatera utara dan Mesir kuno telah mengadakan kontak dan memperdagangkan
kemenyan serta kapur barus. Bangsa Mesir kuno mendatangkan kemenyan untuk
berbagai fungsi, seperti pengobatan dan kebutuhan spiritual dan kapur barus
sebagai bahan pengawet mumi.
Di Indonesia sendiri, daerah penghasil
kemenyan adalah Tapanuli dan sedikit wilayah di Sumatra Barat. Tercatat ada 20
jenis pohon kemenyan di dunia. Namun yang tumbuh di Sumatra Utara adalah durame
(Styrax Benzoine) dan kemenyan Toba (Styrax Sumatrana). Tanaman yang mampu
hidup lebih dari 100 tahun ini merupakan salah satu kebanggan masyarakat
Tapanuli. Terdapat sebuah cerita rakyat yang mengisahkan muasal dari pohon
kemennyan. Menurut cerita tersebut, kemenyan merupakan perwujudan seorang gadis
cantik namun miskin yang lari kehutan untuk menghindari perkawinan yang tidak
ia inginkan. Konon, rambutnya yang tergerai panjang berubah menjadi reranting sedangkan
tangisnya berubah menjadi getah yang disadap petani, dan menjadi bahan baku
kemenyan itu sendiri.
Dalam dunia medis modern, kemenyan yang juga
biasa disebut dengan benzoin, digunakan sebagai obat atau campuran obat itu
sendiri. Kedokteran gigi misalnya, menggunakan kemenyan sebagai obat gusi
bengkan dan luka herpes di mulut. Obat-obat farmasi seperti ekspektoran untuk
penyakit bronkitis dan disinfektan pada luka juga menggunakan kemenyan sebagai
bahan bakunya. Beberapa orang bahkan menerapkannya langsung ke kulit untuk
membunuh kuman, mengurangi pembengkakan, dan menghentikan pendarahan pada luka
kecil. Kemenyan digunakan untuk mengatasi borok kulit, luka tirah baring, dan
kulit pecah-pecah dengan cara mengoleskannya langsung kepada bagian yang
bermasalah. Kombinasi kemenyan dengan herbal lain seperti aloe, storax, dan
balsam tolu, yang dikenal sebagai “senyawa benzoin tincuture”, juga berfungsi
sebagai pelindung kulit yang cukup efektif.
Lebih jauh lagi, kemenyan lekat dengan
berbagai kebudayaan di dunia. Orang Arab menggunakan kemenyan sebagai pengharum
ruangan dan aroma terapi. Bahkan diyakini bahwa aroma kemenyan juga digunakan
untuk meningkatkan konsentrasi karena efeknya yang menenangkan. Maka tidak
heran, dalam beberapa majelis, pembakaran kemenyan juga dilakukan sebelum acara
dimulai. Dalam tradisi Kristen, kemenyan juga menempati posisi yang cukup
penting. Terdapat cerita bahwa salah satu hadiah yang dibawa oleh “orang Majus
dari Timur”, selain mur dan emas, adalah kemenyan yang menyimbolkan bahwa Yesus
akan menjadi imam agung. Hal serupa juga melekat pada tradisi agama-agama
Ardhi.
Bagi orang Jawa sendiri, pembakaran kemenyan
bukanlah simbol undangan kepada makhluk gaib. Kemenyan yang dibakar dan
mengepulkan asap berbau khas sebenarnya mengandung makna talining iman, urubing cahya kumara, kukuse ngambah swarga, ingkang
nampi Dzat ingkang Maha Kuwaos. Bila diartikan secara bebas, ungkapan
tersebut bermakna hajat, ritual, atau acara apapun hendaknya selalu untuk
meningkatkan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Bara api dari pembakaran
kemenyan, dimaknai dengan urubing cahya
kumara (serupa api yang membara). Ini adalah perlambang semangat dan
harapan di hati manusia untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Sementara
asap yang membumbung tinggi adalah perlambang doa yang terus naik ke hadapan
Tuhan.
Kemenyan, dari uraian diatas, memiliki
cerita yang teramat panjang yang tidak dimonopoli oleh kebudayaan atau
kepercayaan tertentu. Fungsi kemenyan yang beragam, memungkinkannya meresap
pada sendi-sendi bermacam kebudayaan. Kemenyan yang kaya akan faedah, juga
telah dimanfaatkan untuk keperluan dunia medis. Sehingga tidak ada alasan bagi
kita, eh saya, untuk memiliki ketakutan dan asosiasi liar yang negatif terhadap
kemenyan.
_______
Suatu hari di 2017. Samar-samar, dari sebuah
pondok tua, tercium aroma kemenyan yang dibakar. Ingatan saya melesat pada kengerian
Gunung Arjuna beberapa waktu silam. Lantas, saya tersenyum dan bergumam, ”Ah,
mungkin sedang ada yang melakukan pengobatan.”
Comments
Post a Comment