Tiga Lapis Ilmu


 

Setidaknya, hingga saat ini, etnografi belum pernah gagal memberikan saya pengetahuan baru. Selalu saja ada hal-hal segar yang terselip dan muncul di sela-sela padatnya wawancara tentang topik yang saya gali. Hal segar tersebut bisa berupa cerita masa muda, keluh kesah, jurus bersyukur, ilmu baru, perspektif nyleneh atau sekedar narsisme yang butuh penyaluran. Semua bisa muncul ditengah perbincangan karena memang pada dasarnya, etnografi adalah upaya untuk mengeruk sebanyak mungkin informasi yang tersimpan di dalam pikiran informan. Sehingga tidak jarang, hal lain, sebut saja residu memori, mendesak keluar ditengah-tengah wawancara.  

Mbah Upam (Dok pribadi)

Perspektif baru itu juga muncul dalam sebuah wawancara yang saya lakukan dengan salah satu anggota kasepuhan Sendang Tirto Mulyo Januari lalu. Setelah sehari sebelumnya, yakini tanggal 10 Januari 2020 saya gagal menemui beliau, akhirnya saya berhasil bertemu dengannya kesokan hari.

 Ini adalah kali ketiga saya mengunjungi beliau. Kunjungan pertama dan kedua terjadi pada tahun 2016, saat saya mencoba menggali informasi tentang Ritual Adat Ulur-ulur. Siapa sangka, berselang empat tahun setelah itu, saya sekali lagi datang ke rumah ini, berbincang dengan orang dan tentang topik yang sama.

Langit sudah gelap kala saya tiba di rumah sederhana tersebut. Sura pujian dari masjid sayup-sayup meninggalkan udara. Di desa, aktifitas manusia seakan paripurna setelah isya tiba. Setelah itu giliran jangkrik dan makhluk malam yang berorkestra. Ketika tiba di Rumahnya, mbah Pamuji, sesepuh yang saya tuju, sudah berada di teras rumah bersama dengan menantunya yang saya temui sehari sebelumnya. Mereka telah menunggu saya.

Setelah salim, dan memperkenalkan diri, mbah Upam, begitu panggilan akrabnya, mempersilahkan saya masuk ke dalam rumahnya. Senyumnya yang lebar, serta binar matanya yang hangat, menunjukkan antusiasme yang tinggi. Di ruang tamu yang kira-kira berukuran 6x5 meter tersebut, sudah tergeletak sebuah foto album berisikan dokumentasi ritual, sebuah buku, dan dua cangkir kopi yang masih mengepul asapnya. Saya sempat mengingatkan mbah Upam, bahwa saya sudah pernah ke rumahnya empat tahun yang lalu. Namun, sepertinya, mbah Upam sudah sedikit lupa dengan wajah saya.

Setelah menyeruput kopi yang manis tersebut, perbincangan dimulai. Obrolan mengalir lancar bak arus sungai dari Telaga Buret. Saya cukup menikmati proses ini. Mbah Upam yang lihai bertutur terlepas banyak giginya yang sudah tanggal, membuat proses wawancara ini semakin mengasikkan. Kedalaman pengetahuan beliau tentang budaya Jawa, dan sejarah lisan, merangsang saya untuk bertanya satu-dua hal diluar topik utama. Suasana malam yang cukup hening saat itu juga menambah keintiman wawancara tersebut.

Di sela obrolan tentang sejarah Ritual Adat Ulur-ulur, serta mitos-mitos yang melekat padanya, Mbah Upam, entah secara sengaja atau tidak, menyelipkan pengetahuan yang baru bagi saya. Dia berbicara tentang lapis ilmu dalam pandangan orang Jawa. Ia berkata bahwa ada tiga lapisan dalam segumpal ilmu. Lapis pertama disebut Kaweruh­, lapis kedua dalah elmu, dan lapis ketiga adalah roso.

“Manungso kui, kudu nduwe telu, Kaweruh, elmu, Roso. Lek dijupuk siji-siji, ibarat woh-wohan, yo ora jangkep, ora lengkap.”

Manusia itu [dalam mencari dan memahami ilmu] harus menempuh tiga hal, yaitu Kaweruh, Ilmu, dan Roso. Apabila hanya punya satu diantaranya, ibarat buah, tidak lengkap, tidak baik.

Menurut Mbah Upam, kaweruh merupakan lapis terluar dari padatnya ilmu. Bila diibaratkan buah, Kaweruh adalah kulitnya. Manusia yang berilmu, yang hanya sampai pada tataran kulit, akan cenderung sombong. Kaweruh yang ia miliki hanya mendorong pemiliknya untuk pongah. Mbah Upam mengibaratkan bahwa tataran Kaweruh seperti padi tanpa isi.

Lapis kedua adalah elmu. Dengan pengandaian yang sama, elmu berarti daging buahnya. Daging buah adalah bagian yang cukup signifikan dalam ilmu. Ia adalah isi dari pengetahuan. Isi kepala berupa jutaan data yang kita serap dari kehidupan dan buku tebal yang kita sempat baca.

Namun tentu saja tanpa kulit, tanpa Kaweruh, ilmu juga kurang sempurna. Ia akan mudah menjadi kotor. Hubungan antara kaweruh dan elmu cukup variatif, bisa dikotomis atas bawah, atau bersifat komplemen. Bersifat komplemen saat satu sama lain saling melengkapi. Misalnya, kulit tidak akan berharga bila tidak ada isi, dan isi tidak akan sempurna tanpa kulit.

Lapis ketiga dan sekaligus tingkat terakhir dari ilmu adalah roso. Ibarat buah, roso adalah rasa yang hanya bisa dicecap dengan merasakannya. Dalam konteks perpsektif Jawa, merasakan ini hanya bisa ditempuh dengan laku yang bisa dimaknai dengan menjalani, mengalami, atau mencelupkan diri dalam ilmu tersebut. Dengan begitu, manfaat dari ilmu akan bisa dirasakan. Roso adalah tahap memeras ilmu hingga menetes sari-sari faedahnya. Jadi, betapapun banyak ilmu yang kita ketahui, bila kita tidak menempuh laku, kita tidak akan bisa mencapai tingkat roso. Atau sederhananya, tidak akan bisa mendapat manfaatnya. If we do not do what we know, so there is no use of our knowledge.

Hal ini, (walaupun mungkin sedikit terkesan memaksakan) sepertinya mirip dengan konsep pembelajaran modern, yang biasa disebut Knowing, Doing, and Being. Knowing adalah pembelajaran tahap pertama, saat kita mengetahui sesuatu yang baru. Ini adalah proses perkenalan seseorang dengan ilmu. Bila disejajarkan dengan pembahasan sebelumnya, Knowing berarti kulit atau Kaweruh.

Tahap Doing adalah tahap seseorang mulai mengerjakan apa yang dia ketahui. Namun, mereka sekedar mengerjakan saja, dan belum bisa merasakan apa yang dilakukannya. Nah, bila dibandingkan dengan pembahasan lapis ilmu tadi, Doing bisa berpijak pada domain elmu dan roso. Elmu karena ia berupa isi, dan dan roso karena ia sudah melangkah pada tingkat aplikasi. Namun, berbeda dengan roso dimana ilmu sudah menjadi bagian hidup dari seseorang, doing nampaknya masih belum pada tataran tersebut. Barulah ketika sudah mencapai being (menjadi), level ini bisa disetarakan dengan roso itu sendiri. Karena pada hakikatnya, ilmu itu tidak hanya teori untuk diaplikasikan, tetapi dirasakan dan membentuk manusia menjadi lebih manusiawi.

Tentu saja uraian diatas adalah teori cocokologi, atau utak-atik gathuk. Monggo saja, bila kalian tertarik untuk membantah atau menghujat uraian tersebut. Yang jelas, bahwasanya bila kita jeli dan sedikit “nakal” dengan mengasosiasikan ilmu-limu tua yang bersembunyi pada tradisi-tradisi pribumi, bisa jadi sebenarnya hal-hal yang kita anggap mutakhir saat ini sebetulnya sudah ada jauh sebelum era serba digital ini.
______

Pukul setengah dua belas malam, saya pamit undur diri dari rumah Mbah Upam. Kopi yang tadi disajikan sudah tandas kami seruput. Entah berapa kuota penyimpanan di handphone yang terisi suara beliau. Wawancara ini, sebagaimana wawancara sebelumnya, memberikan hal baru yang semakin membuatku merasa kerdil dihadapan luas dan lebatnya rimba ilmu yang masih belum tergali ini.

Comments

  1. Aku jadi ingat apa yang dikatakan Pak Mukhlis tentang ciri2 keindahan menurut Bugis.
    Aku refleksikan ke Jawa, apakah mungkin Jawa ini tidak punya hal semacam itu (ciri2 keindahan), karena apapun yang disajikan pasti menurut orang Jawa indah, karena yang dilihat bukan hanya yang nampak, namun kemampuan mengolah luaran menjadi sebuah gelombang yang bisa dirasakan.


    Hmmmm, apakah kita sudah sampai ke tahap ilmu lapis ketiga?

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau saya kayak e masih tingkat pertama seng kadang ada pongahnya. wkwkwk. poor of me!

      Delete
  2. Jadi minder banget sama orang sepuh jaman dulu yang adab nya adiluhung tingkatan keberapa ya, berlapis lapis kali. sudah jelas-jelas ilmunya sampai akar, tapi tetap rendah diri. Tinggal kita gimana menggalinya dari mereka. Sungguh indah!

    Ngomong-ngomong uthak athik gathuk ini jadi keinget Gatoloco, tapi nggak ngerti sih soal Gatoloco. hahaa

    btw suka sekali dengan tulisan sampen yang ini mas. tulisan yang informatif dan juga ada maknanya gitu. ada pelajarannya. terus nulis yg kayak gini mas. mantul!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts