Pilih mana?
“Nah, pertanyaanya adalah, apabila Tuhan
menciptakan Manusia dari dirinya sendiri, lantas mengapa Tuhan harus
repot-repot menyediakan Neraka untuk menyiksa “bagain kecil dari diriNya
sendiri?”
Pertanyaan tersebut terlontar dalam
salah satu sesi diskusi multidimensi yang saya tonton beberapa waktu lalu.
Semakin malam, seperti biasa, diskusi yang diasuh oleh Mbah Nun tersebut
semakin merangkak naik menuju pucak kulminasi. Dan kali ini, titik tersebut
ditandai dengan pertanyaan tadi. Terlebih lagi, untuk sedikit memutar otak, dilontarkan
pula tambahan, “padahal kan Gusti Pengeran itu Rohman-Rahim. Kok masih
menyiksa?”
Beberapa orang tentu saja berusaha melempar
argumen sesuai dengan kapasitas masing-masing. Semua mempunyai penjelasan yang
cukup mengasyikkan untuk dikunyah. Dengan beragam latar belakang
pengetahuannya, selang-seling jawaban tersebut menjadi perangsang yang
memperkaya perpektif bagi semua yang menyimak.
Di antara padatnya jawaban yang memenuhi
udara, saya pribadi menganggap bahwa jawaban Sabrang lah yang paling mengena. Awalnya,
alih-alih masuk kedalam pertanyaan, vokalis band Letto tersebut malah
memberikan analogi sederhana sebagai landasan berfikir. Ia mengatakan kira-kira
seperti ini,
“Apa yang kalian akan lakukan bila tiba-tiba, ketika katakanlah
kalian menonton film panas, orang tuamu, Bapakmu, masuk kamarmu dan tahu apa
yang kamu lakukan?”. Iya mengambil
jeda sebelum meneruskan, “Pasti malu kan
kowe?”
Gerrrrr….
cekikikan penonton terdengar kompak.
“Lantas bagaimana semisal setelah kejadian itu, orang
yang nge “gap” kamu tadi berubah sikapnya? Misal lebih dingin, ndak mau nyapa,
atau hal lain yang membuat kamu merasa tidak nyaman?”
Dengan pertanyaan tersebut, Sabrang seolah mamancing
penontonnya untuk sepakat bahwa mereka akan melakukan apa saja asal orang
tersebut kembali “normal”. Kembali seperti biasa. Tidak dingin dan acuh. Sabrang
lantas menawarkan pilihan;
“Lebih pilih mana, dihukum berat, katakanlah
ditempeleng bapakmu, dipisuhi, atau disabeti, seketika itu, tapi setelahnya
selesai-beres, atau dibiarkan saja, didiamkan tapi sifat bapakmu berubah ke
kamu?”
Saya yakin bahwa kita semua akan memilih
opsi dihukum dengan syarat akan kembali normal semuanya, daripada didiamkan
namun berubah sikap. Bahkan kita mungkin akan memohon untuk dihajar, bila
perlu, agar kita kembali mendapatkan atensi dan sikap wajar bapak kita. Dihajar
disini, meskipun tidak menyenangkan, bisa dianggap sebagai mekanisme pembersihan
kesalahan. Tentu saja sebagai orang yang bersalah, kita akan memilih menempuh
hal ini daripada dicuekin oleh orang yang kita hormati. Betul kan?
Kembali ke pertanyaan tadi. Bila dengan Bapak saja kita
sedemikian rupa, memilih untuk dihukum daripada didiamkan, apalagi dengan Tuhan? Tentu
saja bisa kita bayangkan betapa kita akan sangat kebingungan apabila Tuhan
tidak menyediakan mekanisme penebusan dosa tadi. Kita juga bisa bayangkan
betapa banyak kita ter “gap” oleh Tuhan, ketika kita melakukan hal yang buruk. Tentu
saja bila menggunakan analogi sebelumnya, kita akan memilih untuk dihukum,
asalkan suatu saat, ketika hukuman terasa sudah cukup, "Bapak" kita bisa kembali
hangat kepada kita sendiri.
____
Jawaban tersebut seolah mengarahkan semua orang untuk berpikrian bahwa neraka merupakan mekanisme yang
disediakan Tuhan, bukan untuk menyiksa umatnya. Melainkan untuk memberi manusia kesempatan agar kita kembali bersih, dan pada akhirnya mendapatkan “kehangatan”
Tuhan Yang Maha Rahman dan Rohim. Karena pada akhirnya pada siapa lagi kita
kembali selain kepadaNya, kan?
ya Alalh, iya bener juga ya. mantap mas.
ReplyDeletePertanyaan2 mendalam seperti ini yang membuat otak mikir keras, tapi jawabannya malah dekat dgn kehidupan kita
ReplyDelete