Megengan, Poso, dan Corona
Seperti biasa, beberapa hari menjelang bulan suci
Ramadhan, para ibu di desa saya sibuk menyiapkan paket makanan untuk diantar kepada
tetangga terdekat. Tradisi membagikan makanan ini oleh masyakat Jawa disebut
dengan Megengan. Beberapa orang
meninterpretasikan Megengan dengan
kata Meng-Ageng-ageng, atau membesar-besarkan. Hal ini bermakna bahwa Megengan adalah manifestasi luapan rasa
suka cita masyarakat Jawa dalam menyambut Bulan Suci Ramadhan. Di sisi lain,
bila dilihat dari akar katanya, Megengan
berasal dari kata Megeng, yang
berarti Menahan. Hal ini menjadi simbol dan pengingat bagi masyarakat Jawa
untuk mulai menahan diri dari hal-hal yang tidak semestinya dilakukan pada
hari-hari menjelang puasa, dan selama menjalankan Puasa.
Megeng, yang berarti Menahan, mempunyai korelasi kuat dengan
Puasa. Dalam Bahasa Jawa, Puasa disebut Poso. Poso sendiri adalah
akronim dari Ngeposne Roso yang
bermakna Menahan Rasa. Rentetan antara Megengan
dan Puasa berujung pada upaya menahan nafsu itu sendiri. Saya tidak
akan membahas bagaimana sejarah Megengan
yang menurut para ahli adalah hasil akulturasi dari kebudayaan tua Jawa dan
Islam tersebut. Saya tiba-tiba saja tertarik untuk menarik garis lurus antara
konsep Menahan Nafsu, dan juga fenomena Corona yang sedang menyelimuti Bumi
kita ini.
______
Berbincang soal nafsu, menjadikan saya teringat pada
konsep nafsu yang disodorkan Mbah Sandi, seorang sesepuh dari Desa Pelem,
Tulungagung. Ia mengatakan bahwa Nafsu manusia melekat pada panca indera yang
ia sebut sebagai Panggodo, Pangrungu,
Pangucap, Paningal, dan Pangroso. Hubungan
antara nafsu dan panca indera juga diperinci dalam Serat Wulang Reh. Disebutkan disana bahwa ada empat jenis nafsu
yang keluar dari panca indera manusia yaitu Aluwamah,
Amarah, Supiah, dan Mutmainah. Dijelaskan pula bahwa nafsu Aluwamah (Lawwamah)
adalah nafsu yang berasal dari perut dan keluar melalui mulut (Pangucap).
Nafsu ini disimbolkan dengan hati yang berwarna gelap/hitam, dan merupakan
sumber dari rasa lapar, haus, dan kantuk.
Selanjutnya, nafsu Amarah. Nafsu ini disimbolkan dengan hati
yang berwarna merah. Nafsu yang keluar dari telinga (Pangrungu) ini
berasal dari empedu, dan merupakan sumber dari emosi, iri hati serta angkara
murka. Sedangkan nafsu Supiah (Sufiyah) adalah nafsu yang
menimbulkan birahi, kerinduan, keinginan dan kesenangan. Nafsu yang disimbolkan
dengan hati yang berwarna kuning ini bersumber dari limpa dan timbul melalui
mata (Paningal). Nafsu terakhir, yakni Mutmainah (Muthmainah)
yang merupakan nafsu baik, berasal
dari tulang dan ditamsilkan sebagai hati yang berwarna
putih bersinar. Nafsu ini adalah sumber dari kebaikan, keutamaan dan keluhuran
budi. Nafsu ini muncul melalui hidung.
Terminologi lain terkait nafsu yang juga masih terkait dengan
paparan diatas menyebutkan bahwa nafsu adalah “Babahan Howo Songo”. Songo artinya sembilan. Sehingga bisa
diartikan bahwa nafsu kita berasal dan dari sembilan lubang yang melekat pada
diri kita. Kesembilan lubang tersebut adalah, satu lubang mulut, dua lubang
mata, dua lubang hidung, dua lubang pendengaran, dan dua lubang pengeluaran. Selain
itu di dalam dunia pewayangan, nafsu juga dipersonifikasikan dengan kelahiran Dosomuko,
Kumbokarno, Sarpokenoko, dan Wibisono
dengan karakternya masing-masing.
Saya kira semua
sepakat bahwa manusia sudah terlampau jauh mengikuti nafsu
mereka. hal ini bisa dengan mudah kita telaah dari bagaimana kita
mengeksploitasi apa saja yang ada di permukaan dan di dalam bumi. Lihat saja
bagaimana jutaan pabrik dibangun asal-asalan. Bagaimana kemudian pabrik-pabrik
tersebut setiap harinya memuntahkan limbah yang berbahaya bagi bumi. Kita juga
bisa lihat bagaimana tambang-tambang didirikan untuk, setiap detik, menghisap
sari-sari bumi. Kita juga bisa mengamati bagaimana hutan-hutan digunduli-ditelanjangi.
Satwa dibunuh seolah yang boleh hidup di bumi ini hanyalah manusia saja.
Manusia saat ini, para pelaku industri besar utamanya, seolah
ditarik sekencang-kencangnya oleh kuda bernama Aluwamah (Lawwamah).
Sebuah nafsu yang berasal dari
perut, dan keluar lewat mulut. Nafsu yang membuat manusia selalu saja merasa “lapar
dan haus” sehingga mereka merampas apa saja di depan mereka untuk mengisi “perut”.
Perut mereka seolah terus merengek-rengek meminta untuk dimasuki lebih banyak
dan lebih banyak lagi timbunan kekayaan, dan materi.
Mungkin, hal inilah yang memaksa
Bumi untuk mengeluarkan antibodinya. Bumi yang sudah melulu dilukai akhirnya
terpaksa mengeluarkan jurus pamungkasnya guna mengembalikan ekuilibrium yang
sudah dicabik-cabik oleh kita, manusia. Jurus tersebut lantas kita namai virus Corona.
Segumpal virus yang memaksa manusia untuk
berhenti sejenak dari hiruk-pikuk materialisme, menepi dari keramaian jagad
gemerlap, menahan diri dari geliat kapitalisme yang semakin menjadi. Manusia
dipaksa untuk takluk dengan alam dan menyadari posisi dirinya yang rapuh.
Akhirnya, disaat seperti inilah, Megengan dan puasa saya kira menemukan konteksnya. Manusia, mau tidak
mau, dituntut untuk Megeng, atau
menahan dan dilanjut dengan Poso atau
Ngeposke Roso. Sekaranglah momentum
yang tepat bagi kita untuk sama-sama introspeksi diri, melihat kedalam sambil
mengira-ngira sedalam apa kita sudah memberi luka pada bumi kita. Kita harus
mau dengan rendah hati mengakui bahwa selama ini, kitalah yang menyebabkan Bumi
sakit. Nafsu-nafsu yang mengekang kita selalu merongrong keseimbangan Bumi. Dan oleh karenanya, lockdown baik secara fisik maupun spiritual bisa kita lakukan.
Mungkin sudah saatnya kita memberikan Bumi yang sakit
ini waktu untuk beristirahat sejenak, menyembuhkan dirinya, sembari kita secara
sungguh-sungguh Megeng dan Poso. Mungkin suatu saat setelah Corona
ini reda, kita bisa merayakan Megengan dan
Poso dengan lebih baik dan dalam.
Saya kira, sebagaimana kue Apem dalam Megengan
yang konon berasal dari kata afwum yang bermakna permintaan maaf, tidak ada
buruknya kita membuat “kue Apem” khusus untuk bumi ini, sebagai simbol
permohonan maaf atas segala kelalaian dan keteledoran kita yang membuat Bumi
terluka.
Semoga setelah kejadian ini, setelah Megengan, Poso, dan Corona ini, kita bisa menjadi manusia yang lebih bertakwa kepada semesta.
aamiin
ReplyDeletesepakat mas, waktunya manusia berhenti sejenak. soal nafsu ini memang susah sekali ya untuk menahannya. pernah suatu ketika ada teman saya, sebut saja A, membicarakan teman saya yang B. si A bilang bahwa B ini termasuk orang yang kelewat baik hatinya sampai sering jadi sasaran penipuan. Ketika saya bertemu si B, saya bilang pada beliau dan beliau cuma bilang begini, ya mungkin saja saya kerap ditipu, dan saat seperti itupun saya mungkin mengetahui atau tidak mengetahui, tapi yang jelas saya menjaga nafsu saya, mencoba meredam nafsu saya untuk berfikir demikian dan demikian. saya mencoba untuk tidak membiarkan nafsu saya merajai pikiran dan hati saya.
Jadinya bikin saya pengen belajar gitu deh. tp ternyata susahnya minta ampun, tp harus terus dicoba..
Aku jadi kangen megengan di desa :(
ReplyDeleteYa Allah, cepatlah berlalu wabahnya :(