Tetek-melek
Berhubung masa karantina sudah selesai, saya
memutuskan untuk bersepeda. Berbekal sepeda pinjaman tetangga, tepat pukul enam
pagi, saja mulai mengaspal. Niat saya yang awalnya hanya berkeliling desa
berubah mengikuti keinginan hati.
Di sepanjang perjalanan, selain nuansa hijau yang
sangat menyegarkan, pandangan saya juga tersedot pada beberapa lukisan-lukisan
unik yang dipajang di berbagai lokasi. Lukisan-lukisan tersebut dibuat
sedemikian rupa dan dipasang di lokasi strategis, seperti jembatan, pos
kampling, tiang listrik, hingga depan rumah warga.
Menempel di tiang listrik (dok. pribadi) |
Lukisan itu digambar di atas pelepah kelapa. Sejauh
pengamatan saya, tidak ada “pakem” yang sama pada lukisan pelepah kelapa
tersebut. Ada lukisan yang terlihat menyeramkan, ada yang terlihat seperti
binatang, ada pula yang terlihat cukup lucu dan sederhana. Semua menghiasi
sudut-sudut desa yang saya lewati. Meskipun tidak ada pakem perihal bentuk
lukisan, namun secara garis besar, ada paling tidak tiga warna yang mendominasi
lukisan-lukisan tersebut, yakni warna merah, warna putih, dan warna hitam.
Tetek-melek (dok. pribadi) |
Setelah bertanya sana-sini, saya akhirnya mengetahui
bahwa lukisan-lukisan dengan media pelepah kelapa tersebut oleh masyarakat Tulungagung
disebut dengan Tetek-Melek. Sejujurnya, istilah ini tidak asing bagi telinga
saya. Tetek-melek hidup di kepala saya sebagai sosok menyeramkan yang
menghantui anak-anak kecil yang nakal. Dulu, saat masih kecil, orang tua saya pasti
selalu menakut-nakuti saya dengan perkataan “awas, enek Tetek-melek di sana! ”
ketika saya pergi ke satu tempat tertentu yang tidak diinginkan orang tua. Hal
ini membuat Tetek-melek, bagi anak-anak desa seperti saya, terkenal sebagai
sosok penggangu yang buruk rupa.
Namun berbeda dengan peran
Tetek-Melek dalam ingatan saya, Tetek-melek yang saya temui ini malah berfungsi
sebagai pelindung warga dari virus Corona. Masyarakat percaya bahwa Tetek-melek
ini mampu menangkal penyakit atau pagebluk yang menjangkiti suatu wilayah. Pagebluk
sendiri merupakan sebutan untuk wabah penyakit epidemi, yang biasanya dikaitkan
dengan hal-hal spiritual.
Tetek-melek sederhana (Dok. pribadi) |
Saya yang penasaran dengan makna
dan fungsi Tetek Melek yang kontradiktif tersebut lantas memutuskan untuk
berselancar ke dunia maya untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi. Ternyata,
kata Tetek-melek, hingga pelepah kelapa yang digunakan untuk media lukis
tersebut sarat akan makna. Tetek atau Teteg
bermakna tangguh, sedangkan Melek
berarti waspada. Sementara itu, lukisan seram merupakan simbol marabahaya yang harus
senantiasa diwaspadai oleh masyarakat. Terkahir, pelepah kelapa atau biasa
disebut bongkok bermakna kepasrahan
kepada Tuhan. Kesatuan antara nama, gambar seram, dan bahan lukis, pada dasarnya
menyimbolkan sebuah kewaspadaan dan kepasrahan masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
Nenek moyang dulu dipercaya
menggunakan hal serupa untuk menolak pagebluk atau wabah. Dahulu, untuk membuat
Tetek-melek, seseorang harus dalam keadaan suci. Mereka harus berwudhu terlebih
dahulu sebelum membuat lukisan. Setelah berwudhu, mereka lantas membaluri
pelepah pisang dengan kapur dan menggambar wajah di atasnya dengan arang. Sangat
sederhana.
Tentu saja, seiring perkembangan
jaman, lukisan Tetek-melek tidak sesederhana dulu. Cat air dan kuas digunakan
sebagai alat lukis untuk menghasilkan gambar yang lebih ciamik. Permintaan yang
melonjak membuat para pengrajin tetek-melek sibuk memenuhi order. Sebuah
Tetek-melek dijual seharga 15 hingga 30 ribu rupiah per buah. Hal ini mendorong
geliat ekonomi baru di tengah pandemi Covid-19. Sebagai dukungan pemerintah
Kabupaten Tulungagung terhadap upaya pelestarian budaya ini, dua buah
Tetek-melek bahkan juga dipasang di Pendopo Kabupaten Tulungagung.
Saat melihat lukisan Tetek-melek
ini, entah mengapa pikiran saya seakan terlempar pada sosok-sosok seram penjaga
situs suci yang jamak kita temukan di kompleks percandian Jawa; Dwarapala. Pada
bangunan klasik di Indonesia, Dwarapala identik dengan sosok raksasa, dengan
gada di tangannya sebagai senjata. Ekspresi muka Dwarapala juga cukup identik;
Mata melotot, gigi taring yang memanjang keluar mulut, hingga lidah yang menjulur
panjang. Selain itu, rambut ikal juga menjadi identitas fisik dari Dwarapala.
Dalam Catuspatha Arkeologi Majapahit, Agus Munandar menjelaskan bahwa
Dwarapala adalah transformasi dari makhluk halus penguasa tanah, yang bisa
disebut dengan Yaksha dalam mitologi India. Saat agama Buddha dan Hindu mulai
berkembang di India, Yakhsa mengalami negosiasi. Ia lantas ditempatkan pada level demi-god (setingkat di bawah dewata). Dalam perkembangannya, Yakhsa ini dianggap sebagai pendamping Buddha. Ia
kemudian dipahatkan pada bangunan suci, dan diletakkan di bagian depan,
sehingga lama-kelamaan dianggap sebagai penjaga atau pelindung bangunan suci.
Dwarapala: Google image |
Selain berperan sebagai penjaga
bangunan suci, Dwarapala juga berfungsi sebagai sarana edukasi bagi masyarakat
untuk selalu waspada dan menjaga sopan santun kala memasuki tempat suci atau
sakral. Orang Bali bahkan percaya bahwa Dwarapala juga mampu menjadi
media seleksi bagi siapa saja yang masuk kedalam kuil atau bangunan suci. Siapapun
dengan niatan buruk atau energi negatif akan mengalami kesulitan saat memasuki bangunan
suci yang dijaga Dwarapala.
Tentu saja hal ini-upaya asosiasi
Tetek-melek dan Dwarapala- adalah spekulasi membabi buta yang entah bagaimana
muncul dalam kepala saya. Mungkin, beberapa karakter lukisan Tetek-melek yang menyeramkan
tersebut, yang saya temui saat bersepeda, memancing saya untuk menghubungkannya
dengan figur Dwarapala yang mahsyur itu. Tentunya, perlu penelitian lebih
lanjut tentang relasi antara Tetek-melek dan Dwarapala itu sendiri guna membuktikan kengawuran asumsi saya tadi. Hehehe.
_____
Bersepeda kali ini, selain
berhasil mengisi paru-paru saya dengan udara bersih, nyatanya juga memberi
pengetahuan baru tentang salah satu bentuk kebudayaan Tulungagung yang hanya
terbangun saat pagebluk datang.
Yuk
gowes!
Bahkan beberapa waktu yang lalu di pendopo Tulungagung juga dipasangi tetek meleknya lo di soko gurunya.
ReplyDeleteSebenarnya saya penasaran dengan alasannya kemarin itu, sampai menanyakkan ke bapak terkait kepercayaan penangkal pagebluk tsb. hehe
tetek melek, aku baru tahu. Mungkin kalau coba kita gali dan dalami lagi, apa mungkin ya nenek moyang kita dari Jawa dulu mempunyai antisipasi spiritual kebudayaan terhadap suatu wabah atau bencana?
ReplyDeleteaku jadi pengen sampeyan mencari hal serupa tapi jangan di TA aja mans. coba mans, anda kan di jatim. gali lagi dong. hehehehe
atau kita touring jatim untuk ini? :D