Ritual Adat Ulur-ulur; Jembatan Tradisi, Alam dan Wisata
Berjarak sekitar 25 kilometer dari pusat Kabupaten Tulungagung, tepatnya di Desa Sawo, Kecamatan Campurdarat, terdapat sebuah sumber mata air berupa telaga yang menjadi penopang kehidupan pertanian di empat desa sekitarnya. Telaga Buret, nama sumber mata air tersebut, yang berukuran tidak lebih dari 100 m2 ini selama bertahun-tahun telah mengaliri sawah empat desa, yakni Desa Sawo, Desa Gedangan, Desa Ngentrong dan Desa Gamping. Melimpahnya air dari telaga ini memungkinkan masyarakat sekitar untuk dapat melakukan tiga kali masa tanam padi dalam setahun tanpa harus bergantung pada sumber irigasi primer dari pemerintah. Telaga ini, memainkan peran vital dalam aktifitas sosiokultural di wilayah tersebut. sumber mata air tersebut terus di uri-uri atau dijaga oleh masyarakat sekitar.
Kesadaran akan pentingnya menjaga Telaga bukan sebatas
dilandasi oleh pemahaman mereka terhadap Ekologi. Namun juga didorong oleh
kepercayaan mereka tentang sakralitas Telaga Buret. Sutiyono (2013) menegaskan
bahwa salah satu karakter manusia Jawa adalah kuatnya kepercayaan mereka
terhadap kekuatan magis diluar dirinya. Dalam hal telaga Buret, sakralitas
telaga ini diasosiasikan dengan Sosok Eyang Jigang Joyo. Tradisi tutur yang
berkembang di masyarakat mengatakan bahwa kemunculan telaga ini juga lekat
dengan legenda Eyang Jigang Joyo.
Mitos
Eyang Jigang Joyo dan kelestarian alam
Salah satu informan, yang merupakan anggota Kasepuhan
Sendang Tirto Mulyo, yang saya temui dalam observasi menceritakan siapa itu Eyang Jigang Joyo. Ia menuturkan bahwa Eyang Jigang Joyo dipercaya berasal dari
kerajaan Mataram yang melarikan diri ke arah timur bersama sekelompok pasukan
berkuda. Ia mengisahkan bahwa ditengah
perjalanan, rombongan tersebut mendapati seorang bayi yang menangis tanpa orang
tuanya. Karena rasa iba, bayi tersebut dibawa oleh rombongan Eyang Jigang Joyo tersebut. Saat tiba di
wilayah Buret, rombongan berkuda tadi beristirahat dibawah rimbunnya pepohonan.
Saat itulah, karena kelelahan, bayi yang ditemukan di perjalanan itu menangis.
Hal ini membuat rombongan kebingungan.
Akhirnya, Eyang
Jigang Joyo memutuskan untuk menggali tanah demi mendapatkan air. Secara
ajaib, dari lubang galian tersebut muncul air yang semakin lama semakin membesar
volumenya. Air yang muncul terus-menerus ini kemudian membentuk sebuah telaga
yang kini disebut dengan Telaga Buret. Menurut informan saya tersebut, tidak
diketahui pasti, berapa lama Eyang Jigang Joyo dan rombongannya berdiam diri di
wilayah Buret. Namun, diyakini bahwa sebelum menghilang dari wilayah Buret, Eyang Jigang Joyo berpesan kepada
penduduk sekitar, untuk terus menjaga sumber mata air tersebut. Hal inilah yang
pada akhirnya mendorong masyarakat untuk bahu membahu sekuat tenaga menjaga
kelestarian sumber mata air agar terus dapat dimanfaatkan untuk anak cucu
mereka kelak serta, menaati perintah dari Eyang
Jigang Joyo.
Cerita tentang Sosok Eyang Jigang Joyo ini nyatanya
masih memenuhi alam pikiran masyarakat sekitar hingga saat ini. Masyrakat
percaya bahwa sosok Dhanyangan, yang
oleh Geertz (1960) dideskripsikan sebagai “Pelindung” dan mendiami pundhen atau tempat keramat, adalah Eyang Jigang Joyo itu sendiri. Maka dari
itu, masyarakat tidak berani bertindak sembarangan di Telaga tersebut.
mitos-mitos tentang kesakralan telaga Buret diciptakan dan direproduksi terus
menerus. Cerita tentang kualat atau
nasib buruk yang dialami oleh pengganggu ekosistem Telaga juga sangat mudah
didapatkan disana.
Mitos-mitos
yang terus direproduksi ini lah yang menjadi semacam alat proteksi untuk
menjaga ekosistem Telaga. Masyarakat tidak berani menebang pepohonan yang ada
di sekitar telaga. Menangkap satwa di sekitar telaga pun juga merupakan hal
yang sangat dilarang dan dipercaya bisa menimbulkan malapetaka bagi pelakunya.
Konsekuensi logis dari kepercayaan ini membuat lingkungan telaga menjadi
terawat. Aneka satwa seperti monyet, burung, biawak, bulus, hingga ikan yang
mendiami wilayah Buret terlindungi dari gangguan manusia. Kesakralan dari telaga
Buret ini seakan ditegaskan oleh banyaknya aktifitas spiritual yang dilakukan
berbagai pihak. Saat ini, telaga Buret dikenal sebagai lokasi Nyadran, Ziarah,
dan juga pelaksanaan ritual Adat Ulur-ulur.
Ritual
Adat Ulur-Ulur; dari sekedar Ritual, menuju festival
Ritual adat Ulur-ulur merupakan ritual yang diadakan
oleh empat desa, yakni Desa Sawo, Desa Ngentrong, Desa Gedangan, dan Desa
Gamping, sebagai manifestasi rasa syukur mereka terhadap limpahan air Telaga
yang menjadi sumber aktifitas agrikultur di desa mereka. Ritual ini diadakan
setiap hari Jumat Legi bulan Selo sesuai dengan wasiat Eyang Jigang Joyo.
dok pribadi |
Menelusuri muasal dari ritual ini adalah hal yang
cukup menantang. Saya, dalam kesempatan wawancara dengan beberapa pihak, mendapatkan
versi cerita yang berbeda-beda terkait dengan bagaimana ritual ini muncul.
Namun, ada satu versi cerita yang cukup dominan disana, yakni cerita tentang
perginya Dewi Sri dan Joko Sedono, yang merupakan simbol sandang-pangan atau kemakmuran, dari tanah Buret. diceritakan bahwa
dulu, daerah sekitar Buret mengalami paceklik yang membuat gelisah warga.
Orang-orang gagal panen, dan kelaparan terjadi di mana-mana. Setelah
ditelusuri, musabab dari hal ini adalah perginya Dewi Sri dan Joko Sedono ke
negeri Cempa karena merasa bahwa masyrakat desa tidak perhatian pada mereka.
Dewi Sri dan Joko Sedono hanya mau kembali ke tanah Buret asal mereka diberikan
kendaraan yang bernama gajah putih
dan kidang kencono tlapak wojo. Ini
merupakan metafor peralatan pertanian yang menjadi perlengkapan ritual
nantinya. Bagi Koentjaraningrat (1994) pertanian adalah salah satu sektor yang
banyak berkontribusi dalam menciptakan aktifitas religi, termasuk ritual. Maka
tidak heran, bahwa ritual Ulur-ulur ini
juga dikaitkan dengan pertanian dengan metafor hilangnya dewi sri dan joko
sedono.
Ritual ini dilaksanakan dengan memandikan atau jamas arca Dewi Sri dan Joko Sedono, lantas
dilanjut dengan slamatan. Dulu,
sebelum tahun 1965, ritual ini diadakan secara mandiri oleh empat desa. Desa
manapun diantara empat desa tersebut yang hadir terlebih dahulu, berhak untuk
melaksanakan ritual. Mereka membawa hasil bumi ke telaga dan melaksanakan slametan disana. Setiap perwakilan desa
hanya perlu membawa tukang ujub atau
doa saja. Sedangkan yang bertugas menjamas
arca adalah juru kunci telaga buret. Namun, pada tahun 1965, bertepatan dengan
pergolakan politik nasional yang ditandai oleh gerakan G30S PKI, ritual ini
dipaksa berhenti. Sentimen terhadap ritual adat memuncak saat itu, dan oleh
karenanya, ritual ini berhenti dilaksanakan.
Namun, pada tahun 1996, bertepatan dengan lahirnya
Kasepuhan Sendang Tirto Mulyo, ritual ini kembali bangkit dari tidurnya. Ritual yang lahir kembali ini memiliki
beberapa perbedaan dengan ritual sebelumnya. Bila ritual sebelum tahun 1965
dilaksanakan secara mandiri oleh empat desa, ritual 1996 mulai dilaksanakan
secara serentak oleh empat desa. Ritual yang terlahir kembali ini juga lebih
terorganisir. Pelaksanaan ritual kini ditangani oleh kasepuhan Sendang Tirto
Mulyo, dan dilaksanakan dengan cukup meriah. Ritual adat ini mulai mendapat
perhatian pemerintah kabupaten sejak tahun 2000an. Sejak itu dalam setiap
pelaksanaan ritual, pejabat daerah tidak pernah absen untuk berpartisipasi di
perhelatan tersebut.
____
Saat ini, ritual Adat Ulur-ulur telah masuk dalam
agenda wisata tahunan pemerintah kabupaten Tulungagung. Anggaran yang
dialokasikan untuk ritual ini pun semakin meningkat. Pemerintah juga sedikit
demi sedikit melakukan “perbaikan” terhadap ritual agar memiliki daya tarik
pariwisata.
Selain itu, di ranah ekologi, pemerintah juga melakukan aneka kegiatan seperti reboisasi di wilayah telaga, serta penamaan dan pendataan aneka flora yang ada disana. Pokdarwis yang telah terbentuk juga mulai menambahkan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata di sekitar telaga agar semakin banyak orang berkunjung di wilayah Telaga Buret. Semua hal diatas menunjukkan betapa integrasi antara Ritual, Ekologi, dan Pariwisata, dengan tata kelola yang baik, bisa tercipta.
rusa, salah satu daya tarik wisata |
Selain itu, di ranah ekologi, pemerintah juga melakukan aneka kegiatan seperti reboisasi di wilayah telaga, serta penamaan dan pendataan aneka flora yang ada disana. Pokdarwis yang telah terbentuk juga mulai menambahkan fasilitas-fasilitas pendukung pariwisata di sekitar telaga agar semakin banyak orang berkunjung di wilayah Telaga Buret. Semua hal diatas menunjukkan betapa integrasi antara Ritual, Ekologi, dan Pariwisata, dengan tata kelola yang baik, bisa tercipta.
Mantap. Jadi ada insight baru tentang beragamnya negeri kita.
ReplyDeleteHal yang seringkali diacuhkan pun, ternyata menyimpan rahasia yang mendalam. Wow
Masih banyak hal yang butuh didokumentasi, segera turun ke lapangan, dan bekukan dalam tulisan! 😁
Deletesampean emang cocok banget kalau untuk menulis yang kayak beginian mas. mantul dah pokoknya, jadi tambah lagi pengetahuan saya. makasih mas bro!
ReplyDelete