Merantau



Saya tercekat mendengar cerita yang dituturkan ibu malam ini. Tidak seperti malam sebelumnya, kali ini ibu seolah menceritakan semua yang ada di kepalanya. Bagaimana ia memulai merantau saat berada di kelas tiga sekolah dasar, menikah, hingga sekarang bercucu empat.

Bila diibaratkan, kehidupan ibu bak seekor burung yang lepas dari sangkar. Sejak kelas tiga, beliau sudah “diminta” saudara jauhnya untuk pergi ke Tulungagung, berpisah dengan orang tua dan saudara kandungnya. Ia diminta pergi ke kota yang asing tersebut dengan iming-iming akan disekolahkan di sana sembari diberikan kerja.

Panggul (Trenggalek) – Tulungagung sebenarnya tidak dibelah oleh jarak yang terlampau jauh. Saat ini kedua kabupaten yang bertetangga tersebut bisa ditempuh dalam lebih kurang dua jam saja. Namun tentu saja jarak tersebut sangat berbeda bila dipandang oleh anak kelas tiga sekolah dasar yang seumur hidupnya belum pernah keluar desa.

Tulungagung dianggap sebuah kota utopia, hanya karena kata “Aspal” saja. Maklum, dulu Panggul merupakan wilayah yang sangat pelosok. Jalanan di sana masih berupa batuan-batuan sebesar kepala bayi yang ditebar acak. Sehingga, aspal merupakan simbol peradaban maju saat itu. Itu juga yang akhirnya membuat ibu kecil tergiur dan nekat merantau dengan tanpa bekal apapun.

Untuk mencapai Tulungagung, ibu kecil harus menumpang truk. Karena saat itu, hanya truk yang tersedia dan mampu melewati ganasnya jalan Panggul. Ibu juga bertutur bahwa ia ingin membantu orang tuanya, dan tak mau menambah beban. Dan menurut kalkulasinya, Tulungagung dianggap menawarkan harapan.

Namun ternyata, hidup memang tidak semulus ekspektasi, bahkan kadang seterjal batu jalanan Panggul itu sendiri. Selama bertahun-tahun ibu bekerja di Tulungagung, tidak sekalipun dia menerima upah lelah. Janji disekolahkan yang sempat membuatnya yakin untuk pergi berpisah dengan orang tuanya pun juga tak kunjung dipenuhi. Ibu seakan hanya diperah tenaganya untuk bekerja-bekerja dan terus bekerja.

“Bahkan, pas riyoyo aku yo ora dikeki opo-opo,” ucapnya lancar.
“Bahkan, ketika lebaran pun, ibumu tidak dapat apa-apa,” ucapnya lancar.

Ibu mengulum senyum lantas tertawa getir mengingat bagian tersebut. Sepertinya, ada gumpalan rasa yang bekecamuk dalam dadanya, entah apa. Saya sendiri mencoba menerkanya tapi sia-sia. Ibu tidak menunjukkan marah atau kecewa. Suaranya juga tetap biasa, tidak berubah sama sekali. Mungkin saja dia sudah berdamai dengan kenangannya.

Bertahun lamanya ibu bekerja, hingga rutinitasnya yang baru telah menimbun mimpinya untuk mengenyam pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Ibu, entah bagaimana, terus saja bekerja tanpa menggugat bayaran. Campuran antara malu, sungkan, dan takut telah mengunci rapat bibir ibu untuk meminta haknya, dan memacu kerjanya untuk semakin giat. Dia hanya berdoa tulus, “Ya Allah semoga kerja saya engkau balas dengan sebaik-baik balasan.” begitu tuturnya.

Demikianlah ibu bercerita. Selama puluhan tahun ia bekerja untuk saudara jauhnya. Pergi saat kelas tiga, dan harus kembali pulang saat keluarganya di kampung pergi mencari penghidupan baru di Sumatera. Pulau yang jauh lebih misterius baginya.

_____

Di ruang tamu, kami berdua khusyuk bercerita tentang masa mudanya. Sembari mendengarkan, saya perhatikan mimik muka ibu. Saya pandangi guratan-garutan penuh makna yang menempel di wajahnya. Juga kecantikan yang masih melekat kokoh disana. Udara malam yang hangat dan foto-foto bisu yang menempel dididing ruang tamu seolah diam mencuri dengar. Kelebatan wajah berhamburan di kepala saya. Ibu terus bercerita. Dari cerita “meninggalkan sangkar”, hingga kini menjadi “rumah” bagi anak dan cucunya.



Rumah, 13/03/20          
Sedikit cerita Ibu

Comments

Post a Comment

Popular Posts