Mencari "rumah"
A little bird singing a love
song that her mother taught her
That little bird somehow sings it over and over
That little bird somehow sings it over and over
She files very high try to find
the place she first learned to fly
She files so very high she wants to seek an answer from the sky
She files so very high she wants to seek an answer from the sky
On a misty mountain over the
clearwater river
But there's no misty mountain let alone a clear water river
But there's no misty mountain let alone a clear water river
And she just wants to go home
she just wants to be at home
On a misty mountain but now turned into barren
On a misty mountain but now turned into barren
Demikianlah lirik salah satu lagu dari album Lethologica yang berjudul Bird Song. Kemasan akustik yang renyah,
dan lirik yang sarat makna tersebut, berhasil menjadi ‘adonan’ yang memanjakan
telinga saya. Lagu ini belum pernah gagal melemparkan imaji saya kepada
persoalan lingkungan yang terus berulang di Bumi Khatulistiwa kita ini. Letto,
menumpahkan kegelisahannya dalam lagu ini. Ia mengajak pendengarnya untuk
merenungi betapa kerakusan manusia telah menghancurkan alam, yang merupakan “rumah”
bagi banyak makhluk lainnya.
Sabrang, punggawa grup band ini, meneropong fenomena
degradasi lingkungan dari sudut seekor burung kecil yang kebingungan mencari
rumah. Keceriaan burung yang senantiasa menyanyikan lagu cinta ini berubah
menjadi kecemasan saat mendapati rumah, gunung-gunung berkabut, sungai bersih
tempat ia belajar terbang telah hilang menjadi padang tandus yang tak ramah
dengan kehidupan. Lagu ini menyajikan pesan kepedihan yang menyayat hati. Pemilihan
kata “burung kecil”, “ibu”, kata ganti “She”, hingga “rumah” bagi saya pribadi,
berhasil mengaduk-aduk perasaan saya.
Lagu ini, sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya,
melemparkan pikiran saya pada fenomena kerusakan alam yang semakin kesini
semakin menjadi-jadi. Didorong rasa penasaran, akhirnya saya membenamkan diri
pada internet, guna mencari data tentang seberapa parahnya kerusakan alam
beberapa dekade terakhir ini. Namun, algoritma internet seolah tahu isi kepala
saya. Sebelum benar-benar tuntas saya memahami data, internet menawari saya
sebuah artikel menarik dari DW Indonesia. Media asal Negeri Panser tersebut
dalam artikel singkatnya menjelaskan bagaimana kerusakan alam, seperti yang
disenandungkan oleh Letto tersebut, merupakan salah satu penyebab munculnya
virus-virus baru yang akhir-akhir ini menghantui bumi, termasuk Covid-19 yang sangat
menular ini.
Dalam artikel tersebut, dijelaskan bahwa perambahan
hutan oleh manusia, atau konversi lahan menjadi perkebunan komoditas tertentu, berakibat
pada hilangnya habitat hewan-hewan hutan yang berfungsi sebagai stabilatator
ekologi. Hilangnya habitat ini mendorong hewan-hewan tersebut untuk masuk ke
perkebunan, atau pemukiman penduduk. Hal ini melahirkan konflik antara manusia
dan binatang. Binatang dalam pandangan manusia selalu dianggap sebagai hama.
Padahal, mereka hanya merespons keadaan. Munculnya hama, atau keluarnya
binatang dari habitat asli mereka sebenarnya merupakan pertanda bahwa keseimbangan
alam sedang tidak baik-baik saja.
Tidak berhenti di situ, matinya hewan-hewan tertentu, atau
mendekatnya hewan ke wilayah penduduk ternyata berimbas pada merebaknya
virus-virus baru yang saat ini mengancam manusia. Dalam beberapa dekade
terakhir misalnya kita dikejutkan oleh banyaknya kemunculan virus baru yang
meresahkan dunia. Kita tentu sangat familiar dengan nama-nama virus seperti
Ebola, Mers, Flu Burung, Flu Babi, Sars, hingga Covid-19 ini. Semua virus
tersebut mempunyai kemiripan, yakni berasal dari binatang yang diburu, dimakan
dan menginfeksi manusia yang menginvasi habitat mereka. Dulu, sebelum
virus-virus ini muncul, pandemi lain, yaitu Pes, yang hampir melumpuhkan eropa,
juga disebabkan oleh kutu pada hewan tikus.
Lantas bagaimana matinya atau masuknya hewan-hewan
tersebut ke pemukinam penduduk berpengaruh pada munculnya virus-virus? Jawabannya
sangat sederhana ternyata. Kematian hewan yang merupakan rumah dari virus dan
bakteri tersebut tentu memaksa virus dan bakteri mencari rumah baru. Manusia,
yang tidak jarang mengonsumsi hewan tersebut, pada akhirnya menjadi sarang baru
bagi virus dan bakteri yang sebelumnya berdiam diri pada binatang. Terjadi lompatan
pada virus, dari binatang ke manusia. Setelah menjangkiti manusia, virus atau
bakteri akan merusak sistem imun, lantas menyebar ke manusia lain. Hal ini pada
gilirannya menimbulkan wabah, pandemi, atau pagebluk.
Saat menuliskan hal ini, pikiran saya menjalar ke
berbagai sudut. Saya jadi teringat pada mitos-mitos tentang hutan dan
lingkungan yang berserakan di negeri ini. Penelitian saya sendiri misalnya, di
Telaga Buret, Tulungagung, terdapat mitos yang sangat kuat di kalangan
masyarakat bahwa menebang pohon atau merusak ekologi setara dengan musibah.
Kemalangan pasti dialami oleh perusak alam. Bagi masyarakat kita, hutan selalu
identik dengan tempat misterius di mana kerajaan makhluk halus berada.
Di kalimantan misalnya, segudang mitos tentang
angkernya hutan dapat ditemukan dengan mudah disana. Siluman Mariaban, legenda
ular raksasa penunggu hutan, Belau yang usil dan menyesatkan manusia tersebar
dalam ingatan masyarakat adat. Hal serupa juga dapat ditemukan dalam mitologi
lain. Mitolgi Slavia misalnya mengenal Leshy sebagai roh hutan yang menjaga
binatang liar. Leshy berwujud lelaki tinggi dengan jenggot yang berasal dari
lumpur dan tanaman rambat. Sementara itu, dalam mitologi Yunani, terdapat sosok
legendaris, Driad, yang merupakan peri yang menghuni tumbuh-tumbuhan berwujud
wanita.
Legenda-legenda tersebut tentu saja mempunyai fungsi.
Dan salah satunya adalah menjaga kelestarian hutan dari tangan-tangan penjarah.
Hutan bagi masyarakat adat adalah sumber kehidupan dan sumber kematian. Bila
hutan lestari, maka manusia akan tetap bisa bertahan, dan sebaliknya, bila
hutan rusak, maka manusia akan menjadi sengsara. Bila dianalisa dari sini, kita
kemudian bisa mengira-ngira, bagaimana mitos-mitos yang dicipta tersebut
berimplikasi nyata pada kehidupan manusia. Serta bagaimana para tetua, sebagai
lumbung cerita, berperan sebagai penjaga bumi dari munculnya virus-virus
berbahaya lainnya.
______
Kembali ke lagu Letto. Little bird yang kebingungan mencari “rumah”, tadi merupakan
metafora bagi mekanisme natural dari sebuah siklus kehidupan. Mencari “rumah”
merupakan sebuah perjuangan hidup yang akan selalu di tempuh semua makhluk. Little bird yang kalang kabut menemukan
rumah akhirnya mau tidak mau harus berusaha mencari rumah baru entah di kota
atau di sela-sela gedung raksasa. Virus, yang juga merupakan makhluk yang
kehilangan “rumah” karena ulah manusia, akhirnya terpaksa harus mencari rumah
baru, yang sayangnya (atau untungnya?) adalah manusia.
Comments
Post a Comment